Senin, 20 Juni 2011

Peranan Perubahan Sosial dalam Penemuan Hukum

Para ahli hukum memiliki banyak pandangan tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum secara luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970: 11).

Bekerjanya hukum dalam masyarakat akan menimbulkan situasi tertentu. Apabila hukum berlaku efektif, maka akan menimbulkan perubahan dan perubahan itu dapat dikategorikan sebagai perubahan sosial. Namun, kenyataan yang terjadi di masyarakat saat ini, perubahan sosial yang terjadi terkadang tidak diiringi dengan perubahan hukum. Perubahan sosial terjadi lebih cepat dibandingkan perubahan hukum yang terjadi. Soerjono Soekanto (Soerjono Soekanto, 1991: 17) mengemukakan, bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai system nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya. Setiap masyarakat mengalami proses perubahan sosial, perbedaannya adalah waktu dari proses tersebut, ada yang cepat dan ada yang lambat dalam proses tersebut. Menurut La Pierre sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan (Abdul Manan, 2005: 11) menyatakan, bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi perubahan sosial (sosial change) yaitu: 1. Bertambahnya penduduk; 2. Perubahan nilai dan ideologi; 3. Penemuan teknologi. Perubahan sosial merupakan perubahan yang bersifat fundamental, mendasar, menyangkut perubahan nilai sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan institusi sosial, interaksi sosial dan norma-norma sosial. Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum sebagai Sosial Lag yaitu hukum tak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada. Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, bangsa Indonesia juga mengalami proses perubahan sosial yang cepat. Pemicu utama proses itu adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjalin dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perdagangan. Kenyataan dan perkembangan tersebut secara langsung mempengaruhi hukum dan kebutuhan hukum bangsa Indonesia. Penerapan teknologi dapat diaplikasikan secara langsung dalam setiap proses pemeriksaan, khususnya dalam proses acara pidana. Namun, penerapan tersebut haruslah memiliki payung undang-undang sebagai legitimasi dari aplikasi teknologi tersebut. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat turut pula mempengaruhi perubahan hukum di Indonesia. Perubahan yang nampak salah satunya adalah dalam proses persidangan kasus korupsi Al Amin. Dalam proses persidangan tersebut, terdapat 2 (dua) hal yang begitu menarik dan tidak lazim dalam proses-proses persidangan pada umumnya, yaitu, hadirnya istri terdakwa sebagai saksi dan penggunaan rekaman suara sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan. Jika kita amati secara teoritis dan praktis, maka 2 (dua) hal tersebut merupakan penyimpangan dalam teori dan praktik hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. 2 (dua) hal tersebut mungkinkah suatu kelalaian dalam menerapkan hukum acara pidana ataukah justru merupakan terobosan hakim dalam suatu upaya menemukan kebenaran materiil dalam persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Al Amin Nasution. Urutan yang ada dalam pasal 184 KUHAP tentang alat bukti bukanlah letak atau urutan kekuatan pembuktian sebagaimana yang ada dalam hukum acara perdata. Urutan tersebut hanyalah merupakan urutan untuk memudahlan pemeriksaan dipersidangan. Letak kekuatan pembuktian dalam perkara pidana ada pada pasal 183 KUHAP yang menegaskan, bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jika dihubungkan dengan kasus Al Amin Nasution, apakah penggunaan istri terdakwa dan rekaman suara terdakwa dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah di persidangan perkara pidana? Menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus melihat pasal 168 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut: Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Melihat ketentuan yang ada dalam pasal 168 tersebut, maka istri terdakwa Al Amin Nasution tidak dapat dijadikan saksi dalam persidangan tersebut. Adapun Majelis Hakim mendengarkan keterangan saksi tersebut sebatas dipergunakan untuk pertimbangan saja. Keterangan istri terdakwa tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP. Penggunaan rekaman suara dalam kasus tindak pidana korupsi dikecualikan dalam undang-undang, yaitu dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 26 A yang berbunyi: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Pengecualian tersebut berlaku hanya untuk kasus tindak pidana korupsi.Penggunaan rekaman suara terdakwa dalam kasus korupsi Al Amin dibenarkan oleh undang-undang sebagai pengecualian. Penggunaan rekaman suara ini alangkah baiknya jika diberlakukan untuk semua jenis kejahatan, mengingat perubahan sosial yang cepat dimasyarakat termasuk diantaranya perubahan di bidang teknologi membuat segala hal menjadi mudah. Kemudahan tersebut selayaknya dipergunakan untuk membantu proses pemeriksaan persidangan. Sebagaimana telah disampaikan dalam pemeo Ubi societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering). Masalah pemenuhan hukum dalam perubahan sosial memunculkan dua pandangan yang berlawanan berkaitan dengan bagaimana seharusnya hukum berperan. Di satu pihak, pandangan yang mengemukakan bahwa hukum seyogyanya mengikuti, tidak memimpin dan bahwa hal itu harus dilakukan perlahan-lahan sebagai respon terhadap perasaan hukum masyarakat yang sudah terumuskan secara jelas. Pandangan ini diwakili oleh tokoh aliran sejarah, yakni Von Savigny yang berpendapat bahwa, hukum itu ditemukan dan tidak diciptakan. Di lain pihak ada pandangan yang berpendapat, bahwa ”law should be determined agent in the creation of the norms”, pandangan kedua ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berkeyakinan, bahwa hukum dapat dikonstruksi secara rasional dan dengan demikian akan mampu berperan dalam mereformasi masyarakat (Bernard Arief Sidharta, 2000: 7). Pandangan kedua ini secara progresif dikembangkan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dengan konsep hukumnya yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di samping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Konsepsi dan definisi hukum yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam tataran praktis menghendaki adanya inisiatif dari para pembentuk undang-undang untuk melakukan penemuan hukum dalam rangka mengarahkan dan mengantisipasi dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi di Indonesia. Menurut Achmad Ali (Achmad Ali, 1996: 216), tidak perlu diperdebatkan bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya, dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.Perubahan hukum yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari hukum yang bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat berubah terlebih dahulu maupun konsep law as tool sosial engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum nasional yang bersumber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembaga-lembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Peraturan-peraturan yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan, baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan hukum. Di dalam perubahan sosial yang semakin pesat seperti saat ini, peranan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan merambah di semua lini kehidupan, tidak terkecuali di dunia hukum. Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup local maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan darimanapun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan factor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit. Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal. Perubahan hukum yang diharapkan dalam rangka penerapan teknologi informasi khusunya dalam proses pemeriksaan perkara pidana adalah adanya pengaturan dalam hukum acara tentang penggunaan teknologi informasi, baik sebagai alat bukti maupun sebagai bagian dari proses pembuktian. Inti dari semuanya adalah kepastian hukum. Walaupun hakim memiliki kewajiban untuk menggali dan menemukan hukum yang ada di dalam undang-undang maupuan di masyarakat, namun adanya kepastian hukum akan lebih menjamin ketertiban dalam masyarakat. Diundangkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan salah satu upaya antisipatif penyalahgunaan teknologi informasi. Namun apabila upaya ini tidak disertai atau diimbangi dengan kepastian hukum dalam hukum acaranya akan membuat hakim membuat interpretasi-interpretasi yang bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga kepastian hukum terasa diabaikan. Perubahan dalam hukum acara khusunya dalam acara pidana adalah kebutuhan utama yang harus segera dipenuhi untuk menyikapi penggunaan teknologi informasi dalam proses peradilan pidana. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar