Minggu, 19 Juni 2011

Pelajaran Seks

 
Belajar Seks Tidak Dilarang
Oleh : Yudi Hardi Susilo

Seksualitas adalah aspek penting dalam kehidupan manusia. Ketidaktahuan terhadap masalah ini, dapat mengakibatkan permasalahan yang lebih kompleks dalam segala bidang kehidupan. Seperti beredarnya penyakit menular seksual, kejahatan seksual, perilaku seksual menyimpang dan sebagainya. Dampak negatif lebih besar yang dapat terjadi akibat masalah seks ini adalah hancurnya suatu bangsa, yang moral penduduknya rusak karena terjerumus masalah seksualitas yang salah.

Salah satu konsep alternatif solusi permasalahan ini adalah adanya tanggung jawab pendidikan seksual. Menurut seorang pakar pendidikan dari Mesir Prof Dr Abdullah Nasih Ulwan, yang dimaksud dengan pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan.

Pendidikan seks ini penting untuk dilaksanakan sesuai fase perkembangan anak. Fase pertama, usia 7 – 10 tahun, disebut masa prapubertas (tamyiz). Di masa ini, anak diberi pelajaran tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu. Fase kedua, usia 10 – 14 tahun, disebut masa peralihan atau pubertas (murahaqah). Di masa ini anak dihindarkan dari rangsangan seksual. Fase ketiga, usia 14 – 16 tahun, disebut masa adolesen (baligh) . Di masa ini jika anak sudah siap menikah, maka ia diberi pendidikan tentang etika (adab) mengadakan hubungan seksual. Fase keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda. Di masa ini anak diberi pelajaran tentang tata cara menjaga diri dari perbuatan tercela (isti’faf), jika ia belum mampu melangsungkan pernikahan.

Etika meminta izin, dalam pendidikan seksual adalah pembiasaan pada anak untuk dapat meminta izin kepada orang tuanya, ketika ayah dan ibunya berada dalam situasi yang tidak ingin dilihat siapapun termasuk oleh anak kecil. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, ada tiga keadaan yang mengharuskan adanya permintaan izin atas anak yakni saat sebelum matahari terbit, sebab waktu itu biasanya orang-orang masih tidur; pada waktu siang, ketika itu orang-orang biasanya menanggalkan pakaian (istirahat) dan saat malam mulai larut, waktu saatnya tidur dan istirahat.

Meminta izin dalam tiga waktu tersebut mengandung nilai pendidikan dasar etika keluarga. Hikmahnya, apabila anak memasuki kamar orangtuanya, ia tidak akan dikejutkan oleh suatu keadaan yang tidak baik untuk dilihat.

Persoalan penting lainnya adalah mengarahkan anak untuk memandang sesuatu yang baik dan terhindar dari rangsangan seksual yang tidak pada tempatnya. Film erotis, gambar porno, iklan seksual dan realitas seksualitas seperti wanita dengan pakaian merangsang, laki-laki macho dan lain sebagainya, merupakan pemandangan yang tidak tepat untuk dibiasakan disaksikan anak usia belum dewasa.

Masa peralihan atau pubertas adalah masa paling berbahaya jika harus berinteraksi dengan dunia seksualitas yang salah tersebut. Tidak seorang pun yang dapat merasa tenang dan dapat menguasai diri saat melihat seksualitas di hadapannya. Pandangannya tidak akan dapat ditahan untuk melihat bagian molek yang mendorong nafsu birahinya sehingga tercapai kepuasan. Keadaan seperti ini tidak membedakan lagi siapa yang dilihatnya, baik itu orang lain, teman, saudara kandung bahkan orangtuanya sendiri. Kebiasaan melihat seksualitas yang salah akan melahirkan perilaku seksualitas menyimpang dan akhirnya timbul kejahatan seksual di masyarakat.

Ada tiga metode alternatif yang disarankan pendidik agar anak memiliki perilaku yang baik dan saluran dorongan dorongan seksual yang tepat. Pertama, penyadaran, bahwa seks, film porno, majalah cabul, surat kabar beraroma sensual, berbagai acara televise dan radio bertema seks, mode pakaian, penyebaran poster telanjang dan sarang prostitusi adalah alat untuk merusak moral dan semangat penduduk suatu bangsa yang beragama. Tujuan akhirnya adalah hilangnya agama atau prinsip ketuhanan dalam satu peradaban. Seperti yang diucapkan Karl Marx ketika ditanya tentang sesuatu yang digunakan sebagai pengganti akidah ketuhanan. Jawab Karl Marx sangat tegas, penggantinya adalah pangung sandiwara, maka setiap orang harus disibukkan dengan sandiwara/hiburan untuk meninggalkan akidah ketuhanan. Kesadaran terhadap konsep ini akan mencegah dorongan seksual pada tempat yang salah dan berbahaya.
Kedua, peringatan, dengan cara memberikan gambaran kepada anak tentang hakikat bahaya yang muncul dari hawa nafsu yang tak terkendali dan ketergelincirannya ke dalam kegiatan hedonistis. Salah satu bahayanya berkaitan dengan kesehatan pelakunya. Dalam ilmu kesehatan, dikenal istilah Penyakit Menular Seksual (PMS), seperti infeksi HIV, klamidia, gonore, herpes dan sifilis yang dapat diderita setiap orang yang aktif dalam kehidupan seksualnya, bahkan remaja belasan tahun.

Orang-orang yang terkena PMS ini seringkali tidak memperlihatkan gejala, sehingga setiap orang tidak boleh terlalu yakin terbebas dari penyakit ini. Penyakit gonore, misalnya, dikenal sebagai penyakit kencing nanah menular akibat praktik prostitusi yang menyebabkan peradangan atau rasa nyeri berkepanjangan di dalam rahim dan kedua biji pelir. Terkadang penyakit ini menimbulkan kemandulan dan peradangan di persendian, serta mungkin pula memberikan pengaruh terhadap anak yang dilahirkan.

Penyakit gonore ini juga dapat menyebabkan peradangan pada kedua matanya yang menyebabkan kebutaan. Walaupun begitu menakutkan, bahaya yang ditimbulkan penyakit ini tidak seberapa hebat dibandingkan akibat dari penyakit seks lainnya yakni AIDS yang disebabkan virus HIV. Penyakit ini dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin yang akan membunuh penderitanya dengan menyiksa secara perlahan-lahan.

Metode ketiga yang bisa digunakan dalam pendidikan seks adalah pengikatan. Cara ini bertujuan mengikat anak dengan nilai agama, akidah, perilaku kerohanian, pemikiran, sejarah, sosial dan olahraga sejak mulai dapat berpikir dan prapubertas sampai menginjak masa remaja dan menjadi seorang pemuda. Hasil yang diharapkan, anak tumbuh dengan penuh percaya diri dalam kebaikan dan bisa membedakan benar dan salah, mengerti antara halal dan haram, serta mampu melaksanakannya dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.

Pendidikan seks ini adalah sebuah tanggung jawab yang besar dari setiap keluarga. Apabila keluarga yang ada di suatu bangsa menyadari arti penting pendidikan seks, maka setiap anggota keluarga akan merasa aman dan tenang. Masyarakat akan memiliki pemuda yang bersemangat dan kreatif yang akan menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi orang banyak. Bangsa juga akan menjadi kuat dan tidak mudah dipengaruhi ancaman dari luar, karena memiliki penduduk yang percaya diri, tangguh dan stamina prima.

Pendidikan seks pada hakikatnya untuk mengarahkan dorongan alami yang dimiliki setiap manusia pada tempat dan waktu yang tepat. Pendidikan seks bukan penghalang nilai fitri anugerah Tuhan, tetapi alat untuk menjaga dan melindungi anugerah Tuhan yang suci itu dari sifat manusia yang sering melakukan kesalahan. Keinginan yang kuat untuk melahirkan generasi tangguh ini, seharusnya juga disistemasi dalam suatu konsep yang komprehensif agar bisa diterapkan dalam institusi umum, seperti sekolah dan madrasah.

-end-   
·         Pernah dimuat pada Koran Banjarmasin Post, 12 Januari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar